Senin, 28 November 2011

Radikalisme dan Fundamentalisme Islam

Mokhamad Firman Sofi’i
Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk Indonesia. Reaksi keras yang hampir serentak di dunia Islam terhadap kasus karikatur Nabi Muhammad hanya riak kecil dari serangkaian gelombang radikalisme yang lebih besar. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Mereka merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri. Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan kelompok-kelompok muslim kemudian tercerai-berai akibat jebolnya pertahanan budaya yang dimiliki umat Islam.[1] Salah satu contoh adalah kasus bom bunuh diri yang terjadi di masjid mapolres Cirebon dengan pelaku yang bernama Muhammad Syarif. Setelah adanya kejadian tersebut ayah pelaku menuturkan bahwa menurut pelaku undang-undang di Indonesia ini adalah warisan dari orang-orang kafir yaitu para penjajah Belanda.
Kasus serupa yang terjadi pada pelaku yang berbeda dalam sebuah penyergapan terhadap Noordin M. Top di salah satu tempat persembunyiannya di Semarang, polisi menemukan bukti penting berupa video rekaman pengakuan tiga pelaku pengeboman bunuh diri di Bali pada tanggal 1 Oktober lalu. Salah satu pelaku dalam video itu, Mochamad Salik Firdaus, salah seorang pelaku bom bunuh diri di jimbaran Bali, menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa pelakunya akan masuk surga, “Kakakku serta istriku tersayang, insya Allah ketika dirimu melihat ini, insya Allah saya sudah berada dalam jannah (surga). Dalam al-Qur`an dan Hadis disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah.” Demikian ujar Salik.[2] Dari contoh fenomena-fenomena di atas terlihat bahwa apa yang diyakini mereka adalah hasil dari nalaran manusia biasa. Tetapi kita sebagai manusia yang berakal dan berahlak mulia, tentu tindakan seperti itu tidak sama sekali dibenarkan oleh agama.
Fenomena penekanan, intimidasi dan berujung dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia nampaknya masih memiliki sejarah panjang dalam perjalanannya. Bagaimana tidak, jika rata-rata aspek kehidupan kini mengalami kondisi ini, baik sosial, budaya, ekonomi, politik, keamanan pertahanan bahkan keberagamaan di Indonesia senantiasa diwarnai dengan tindak kekerasan dalam praktiknya. Kasus 20 Juli 2007 di Cikanyere misalnya, saat sekitar 2.000 orang datang ke Lembah Karmel, Puncak, melakukan protes terhadap pelaksanaan Konferensi Tritunggal Mahakudus yang diikuti sejumlah umat Katolik pada 24-29 Juli 2007.  Mereka dihadang polisi di gerbang lokasi. Massa menuntut bukti izin kegiatan dari polisi, jika tidak, mereka akan membubarkan paksa konferensi itu.  Kasus lainnya adalah aksi FPI ketika menghadapi aliran-aliran baru seperti ahmadiyah atau ketika saat bulan ramadhan tiba. Dengan dalih untuk menetralisir lingkungan dalam rangka menjaga kekhusyu’an dan kesucian dalam menjalankan ibadah puasa, mereka menetralisir tempat-tempat yang dianggap maksiat seperti tempat-tempat lokalisasi, diskotik, warung remang-remang dengan cara merusak tempat-tempat tersebut. Bahkan tidak sedikit dari aksi FPI tersebut menyebabkan korban jiwa akibat pengusiran paksa ataupun dengan melakukan pelemparan benda-benda berat seperti batu dan sebagainya.  Kejadian semacam ini sama sekali tidak baru. Apalagi ketika kita coba mengingat beberapa waktu silam, ketika saudara-saudara kita yang ada di Ambon, Maluku, Poso, Sampit bergejolak.
Mereka bukan lagi mendapat kekerasan melainkan kekejaman atas akal manusia. Dari waktu ke waktu, kita menyaksikan berbagai bentuk ancaman dan kekerasan atas nama agama. Pada satu segi, ini terjadi di antara kelompok massa Islam terhadap penganut agama lain, khususnya Kristen dan Katolik dan agama-agama lain. Pada sisi lain orang juga bisa menyaksikan kekerasan di antara para pengikut agama yang sama. Ada beberapa kelompok Islam, yang atas nama Islam, mengancam atau bahkan melakukan kekerasan terhadap penganut Islam lainnya. Secara tipikal, pelaku ancaman dan kekerasan menganggap kelompok Islam lainnya sudah sesat, menyimpang, seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Radikalisme Islam bisa muncul diantaranya dari penafsiran tunggal Al Quran, maupun klaim kebenaran dari suatu mashab, kata Direktur Pondok Pesantren Darul Quran Wal Irsyad, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Ahmad Haris Masduki.
Kekerasan-kekerasan ini terjadi jika ditilik dari kritik epistimologi Mohammed Arkoun terjadi akibat pemahaman tekstual atas pesan yang disampaikan oleh Al-Qur;an yang berbeda-beda. Pendapat Arkoun bahwa dalam khazanah tafsir Islam dengan segala macam mahzab dan alirannya, sesungguhnya al-Qur’an hanya merupakan “alat” untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Semua tafsir itu ada dengan sendirinya, dan untuk dirinya sendiri.[3] Tafsir tersebut berkembang seiring dengan kondisi lingkungan dan faktor-faktor lain di mana individu berada.
Muhammad Arkoun, seorang pemikir terkenal atau cendekiawan muslim di hadapan intelektual yang concern dengan pemikiran dan kajian tradisi di dunia Arab. Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19287di keluarga biasa di Perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki gunung Taorirt- Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Pemikirannya kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal karena kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual Islam. Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang memiliki karakter logosentrism (Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et verite religieuse dans lapensee Islamique” dalam Studia IslamicaXXXV, Paris, 1972, hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 38) dengan ruang perkembangan yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat Muslim kontemporer.[4]
Analisisnya tentang  proses pewahyuan dan bagaimana teks tertulis bisa menjadi kitab pegangan (canon), yaitu menjadi sakral dan otoritatif. Merujuk pada Ricouer, Arkoun tiga tingkat firman Tuhan. Pertama, firman Tuhan sebagai yang transenden, tak terbatas dan tak terjamah oleh manusia secara keseluruhan, dengan beberapa fragmen kecil saja yang diwahyukan lewat nabi-nabi. Kedua, wujud historis firman Tuhan itu melalui nabi-nabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus dari Nazareth (dalam bahasa Arami) dan Muhammad (dalam bahasa Arab). Wujud ini dihafalkan dan disampaikan secara lisan dalam waktu yang panjang sebelum dituliskan (Arkoun, 1987 : 16). Ketiga,  objektifikasi firman Tuhan berlangsung (Al-Qur’an menjadi mushaf  yaitu teks tertulis) dan kitab suci ini pun bisa dibaca oleh kaum beriman hanya lewat versi tertulisnya, terlindung dalam canon yang secara resmi tertutup. Ilustrasi Arkoun berikut menggambarkan analisisnya tentang pewahyuan, obyektifikasi dan interpretasinya, serta interaksi kaum beriman dengannya di satu sisi, dan hubungannya dengan sejarah penyelamatan di sisi lain.[5] Oleh karena itu kekerasan yang terjadi di ranah keberagamaan di Indonesia ini tidak terlepas dari pemahaman Al-Qur’an sebagai “alat” yang terbangun dalam akal manusia penganut keberagamaan tersebut yang berbeda, sehingga menimbulkan objektifikasi dan interpretasi yang berbeda pula.
Kekerasan atas nama agama ini tidak serta merta ada, melainkan terjadi melalui proses. Tentu memiliki cerita sejarah yang akhirnya terbentuk hingga seperti saat ini.  Sedikit mengulas sejarah, peristiwa besar hancurnya gedung World Trade Center di New York 11 September 2001 akibat serangan teroris merupakan catatan sejarah kekerasan yang dituding berbasis agama.  Peristiwa pemboman dengan dalih serupa terjadi di Indonesia tepatnya di Legian Bali 12 Oktober 2002 menyusul menambah daftar kekerasan dan terorisme. Kedua peristiwa kemanusiaan tersebut tidak berhenti begitu saja, 20 Maret 2003 serangan Amerika Serikat ke Irak memperburuk tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Tafsir sebagai negara pendukung terorisme melahirkan multiinterpretasi di balik tabir serangan tersebut. 9 September 2004 Bom kembali meledak tepatnya di Kedutaan Besar Australia. Terakhir tanggal 17 Juli 2009, bom kembali diledakkan dan kali ini kembali di Jakarta yaitu di dua hotel besar sekaligus di kawasan Mega Kuningan, hotel JW Marriot dan Ritz Calrton. Tafsir yang cukup masif di dunia Islam atas rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut adalah makna sentimen Agama. Sebenarnya sejarah kekerasan atas nama agama sudah lama menjadi bagian dari kehidupan keagamaan manusia. Kekerasan atas nama agama tidak hanya dilakukan dalam dunia Islam, namun hampir dilakukan dan terjadi di semua agama (seperti di India, Srilanka, Afrika Selatan, Afrika Utara Ethiopia dan Somalia, Spanyol, Amerika Latin dan Irlandia) (Hanafi, 2001) dan (Amstrong, 2002).[6]
Fundamentalis dan teroris sekaligus menguatkan citra Islam di masyarakat Barat sebagai agama kekerasan yang telah terekam dan hidup dalam warisan sejarah mereka. Citra Islam sebagai agama kekerasan mula pertama dilontarkan oleh Peter the Venerable, yang jejaknya kemudian diikuti teolog besar Kristen St. Thomas Aquinas. Melalui tulisan-tulisannya, Aquinas mampu menanamkan citra standar tentang Islam di mata masyarakat Eropa, yakni Islam sebagai agama yang disebarkan dengan kekerasan dan pedang (Sudarto, 1999). Atau kesimpulan Max Weber yang tidak berbeda ketika melihat Islam yaitu sebagai agama pedang yang mengobarkan perang (dalam Turner, 1992) serta anggapan para sarjana Orientalis dan Islamisis Barat tentang kecenderungan di kalangan Muslim disebut sebagai “fundamentalisme Islam”. Terdapat satu hal lagi, sebuah istilah yang sering dilontarkan orang untuk memojokkan umat Islam. Atau sebaliknya ketika istilah ini diucapkan, banyak umat non muslim yang merasa takut, karena di benak mereka segera muncul gambaran adanya umat Islam yang radikal, berani mati untuk membela agamanya. Satu Istilah yang populer sejak awal kelahiran Islam adalah “jihad fi sabilillah” yang dimaknai secara fiskal “perang suci atas nama agama”. Hal semacam inipun sempat terjadi sebagai reaksi terhadap kasus Ambon. Spanduk berserukan jihad yang disertai kutipan firman Tuhan diteriakkan oleh para demonstran.[7] Tetapi berkembangnya masyarakat beragama di Ambon dari waktu ke waktu tidak menyulitkan mereka untuk hidup rukun berdampingan. Bahkan ketika kita sesaat lihat di media televisi masyarakat bahu membahu saling membantu pembangunan rumah ibadah meskipun mereka bukan pemeluk satu agama. Fenomena di Ambon dapat menjadi panutan untuk semua aspek masyarakat khususnya di Indonesia, dengan begitu kehidupan masyarakat dengan berbagai agama dapat hidup berdampingan dengan saling menghormati.
Ernest Gellner lebih lugas dalam memahami fundamentalisme, yaitu bahwa suatu agama dipegang kuat secara literal, tanpa kompromi, pelenturan, reintepretasi maupun pengurangan.[8] Nampaknya gagasan tentang fundamentalisme memang sangat elastis, setidaknya label-label seperti ekstrimisme, radikalisme, integrisme, revival­isme, tradisionalisme, skripturalisme (literalisme) dan sebagainya sering digu­nakan untuk mewakili gejala fundamentalisme yang ada. Terakhir, label Islam­isme juga acap kali dipakai, setidaknya sejak Revolusi Iran meletus di tangan sek­te Syi'ah (1978-1979)[9] dan kembali dipertegas secara "fantastik" oleh runtuhnya Menara Kembar World Trade Center di New York.
Menurut Ade Muzaini Aziz Sebenarnya, orisinalitas kelahiran fundamentalisme dari rahim agama (teks suci) masih layak diperdebatkan. Benarkah tradisi suci keagamaan menuntut para pemeluknya untuk bertindak konfrontatif, bahkan ekstrim. Ataukah kelahirannya lebih distimulasi oleh faktor-faktor profan, yaitu preseden-preseden yang kaitannya dengan doktrin agama masih layuak diragukan. Pertanyaan semacam ini dirasa perlu diajukan mengingat agama, yang diklaim sebagai produk Tuhan yang Maha Suci lagi Bijaksana, sering dituduh ataupun dipakai dalam aksi-aksi kekerasan.
Fundamentalisme dibaca oleh William H. McNeill sebagai penegasan Islam, apapun bentuk mazhabnya, berupa penolakan terhadap pengaruh-pengaruh Eropa dan Amerika pada komunitas lokal, politik serta etika.[10] Paling tidak, konflik Palestina-Israel yang berlangsung selama lima dekade lebihlah yang paling memotivasi gerakan radikal ummat. Konflik ini telah begitu menyulut kemarahan, rasa instabil, ketidakpercayaan dan permusuhan di benak ummat. Dan Barat punya saham yang peramat besar dalam hal ini. Berdirinya Negara Israel tidak lepas dari peran penting Barat. Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa lebih dari $. 3 milyar per-tahun menucur ke kantong pemerintahan Israel, sebagai bantuan militer dan ekonomi dari pihak pemerintah federal Amerika.[11] Rasa gundah semakin berkecamuk di tubuh ummat ketika menyaksikan pangkalan militer Amerika yang masih saja nercokol di Saudi Arabia (kabar terakhir akan dipindah ke Qatar), begitu pula dengan campur tangan Amerika (beserta sekutu Eropanya) di wilayah Iraq. Ini belum ditambah dengan jari-jari gurita akses ekonomi, media, budaya bahkan wacana dunia Barat yang dirasakan hampir di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Mencoba mencatat sebab-sebab timbulnya inferioritas (yang kemudian mendorong agresivitas) ummat yang disebabkan oleh tingkah laku Barat adalah pekerjaan yang menjemukan.
Terlepas dari benar tidaknya agama (Islam) menjadikan pemeluknya berbuat kekerasan, teror dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian, tragedi kemanusian yang berulang terjadi telah menyeret pada “pembenaran” ada keterlibatan nilai agama di dalamnya. Padahal Islam mengajarkan kebenaran, larangan keras untuk menyakiti sesama, kedamaian, kesejahteraan dan rahmat bagi semesta alam. Tafsir atas tekstualitas dalam ayat suci Al-Qur’an merupakan gambaran alasan awal yang menjadikan kondisi keberagamaan (islam) dipraktekkan dengan berbagai cara. Proses pemaknaan pewahyuan Al-Qur’an semakin turun temurun semakin mengarah pada objektifikasi pemahaman, di mana pemahaman tersebut disesuaikan dengan kondisi pemikiran masing-masing manusia karena pada dasarnya hanya tektualitas semata yang kini sebagai pedomannya, sementara itu Al-Qur’an yang sebagai canon sudah tidak lagi ada, sehingga tektualitas merupakan kunci terbaik dalam melakukan pemahaman Al-Qur’an sebagai bentuk petunjuk hidup umat (Islam). Untuk itu tindakan kekerasan yang mengatas namakan agama merupakan hal yang wajar terjadi karena kita ketahui bahwasannya setiap diri memiliki interpretasi dan objektifikasinya sendiri melalui akal berfikirnya. Jadi, ketika kelompok FPI melakukan perusakan tempat-tempat prostitusi, club malam dan sebagainya merupakan tindakan yang memiliki posisi kebenaran karena mereka berangkat dari hasil buah pikir akal dirinya. Ketika ia melakukan pemahaman terhadap tektualitas isi Al-Qur’an, kemudian diinterpretasikan selanjutnya mereka mencoba mensinkronkan dengan fenomena yang ada di sekitar mereka, maka pilihan tindakan kekerasan atas nama agama menjadi suatu kebenaran karena bisa jadi apa yang mereka pikirkan tentang hal itu di kemudiannya adalah hanya dengan tindakan demikianlah (kekerasan) fenomena yang ada tersebut mampu diselesaikan.
Seperti yang kita lihat kondisi kekinian masyarakat khususnya di masyarakat Indonesia, semakin mengarahkan pada memunculkan banyaknya aliran pemahaman yang hebatnya pasti bisa menghadirkan massa pengikutnya. Demikian hebatnya tektualitas Al-Qur’an ditafsirkan secara beragam. Kemudian kelak kelanjutannya kehadirannya menjadikan ketegangan antar penganut aliran, seperti halnya ketika lahir ahmadiyah, aliran pimpinan Mirza Gulam Ahmad dan Lia Eden yang katanya masih merupakan bagian dari agama Islam, tetapi ajaran yang diberikan demikian jauh dari apa yang dihakekatkan pada Al-Qur’an karena hal ini diaplikasikan berdasarkan interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya tersebut yang dengannya pemahaman alternatif selain wahyu adalah sebuah kemustahilan. Oleh karena itu sebagai umat islam yang merasa kearifan agamanya ternodai serta merta tentunya mereka mengupayakan untuk meluruskan hal ini, tetapi seperti yang kita tahu dengan melakukan banyak cara baik dari cara yang kooperatif sampai tindakan negosiasi terhadap penganut aliran agama tersebut maupun kepada pemerintah sebagai dewan pelindung aktivitas masyarakat tidak memberikan solusi yang tepat, akibatnya tindakan kekerasan lah yang menjadi pilihan terjitu untuk membubarkan aliran-aliran tersebut.
Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut tentunya hendaklah tetap memperhatikan kepentingan masyarakat lain yang memiliki beda pemahaman dengan pemahaman kita. Ketika beberapa kelompok umat islam merasa tidak rela harga diri agamanya dipermainkan sehingga merasa perlu melakukan sebuah tindakan berupa tindak kekerasan, tetapi masih banyak juga diantara mereka yang merasa tindakan semacam itu telah melampaui dari hakikat pembelaan atas nama agama bahkan bisa jadi tindakan kekerasan dianggap demikian menyimpang dari hakikatnya. Hal demikian, kembali lagi pada pokok pikiran semula yakni dikarenakan akal manusia dalam melakukan interpretasi dan objektivikasi memiliki perbedaan disesuaikan dengan sejarah hidupnya, baik faktor lingkungan maupun pembawaan diri individu itu sendiri. Oleh sebab itu hendaknya kita sebagai umat yang beragama memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih sebagai wujud komitmen terhadap agama dan keberagamaan kita dengan arif dan bijaksana serta senantiasa memahami keadaan sekitar bahwasannya setiap jiwa memiliki perbedaan, maka yang seyogyanya kita lakukan adalah bagaimana tetap memelihara perbedaan sebagai pijakan menciptakan dan mempertahankan kebersamaan.





Daftar Pustaka
Hanani, Silfia. 2011. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Humaniora : Bandung
Santoso, Listiyono. 2010. Seri Pemikiran Tokoh Epistimologi Kiri. Ar-Ruzz Media : Jakarta
http://pesantrenbanyumas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=60:-kekerasan-atas-nama-agama&catid=1:latest-news&Itemid=18
http://www.scribd.com/doc/27178109/Muhammad-Arkoun-Kritik-Terhadap-Kritik-Nalar-Islam-Arkoun




[2] http://andiwowo.blogspot.com/2008/07/radikalisme-dalam-islam.html
[3] Santoso, Listiyono. 2010. Seri Pemikiran Tokoh Epistimologi Kiri. Ar-Ruzz Media : Jakarta. Hal 199.
[4] http://www.scribd.com/doc/27178109/Muhammad-Arkoun-Kritik-Terhadap-Kritik-Nalar-Islam-Arkoun
[5] Ibid hal 209
[6] http://pesantrenbanyumas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=60:-kekerasan-atas-nama-agama&catid=1:latest-news&Itemid=18
[7] Ibid
[8] Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion, London 1992, 2 (dikutip oleh Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1996, h. 108) dalam Atikel Ade Muzaini Aziz
[9] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Bandung, Mizan 2001, h. 225 dalam  Artikel Ade Muzaini Aziz
[10] William H. Mc Neill, Epilogue: Fundamentalism and The World of the 1990's, dikutip oleh Samuel P. Huntington, ibid, h. 345. Dalam Artikel Ade Muzaini Aziz
[11] Lebih lanjut lihat http://www.religioustolerance.org/reac_ter9.htm  Dalam Artikel Ade Muzaini Aziz

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus